DINAMIKA & TANTANGAN PENEGAKAN HUKUM BERKEADILAN DI INDONESIA


Sebagai bangsa yang telah merdeka selama 63 tahun, predikat sebagai negara terkorup hingga hari ini masih melekat pada Indonesia. Meningkatnya angka kemiskinan di setiap tahun masih terus membayangi, ditambah lagi dengan keburukan moral para elite politik yang kian korup dan memprihatinkan, hingga berimplikasi pada pesimisme masyarakat terhadap supremasi hukum sebagai garda depan sebuah bangsa.

Hukum yang ada hanya dipahami sebagai aturan-aturan yang bersifat kaku, terlalu menekankan pada aspek the legal system, tanpa melihat kaitan antara hukum dengan persoalan-persoalan masyarakat yang harus ditangani. Di satu sisi, hukum identik dengan ketertiban sebagai cermin pengaturan dari penguasa, tapi di sisi lain terdapat pemahaman hukum yang menekankan aspek legitimasi dari peraturan-peraturan itu sendiri. Padahal hukum semestinya tidak buta terhadap konsekuensi sosial-politik yang ada dan tidak kebal terhadap berbagai pengaruh kepentingan.

Hukum responsif berorientasi pada hasil, pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam tipe hukum ini, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat dalam peraturan dan kebijakan, karena pada dasarnya teori hukum responsif adalah teori hukum yang memuat pandangan kritis. Teori ini berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan.
Hukum responsif tidak hanya berorientasi pada rules, tapi juga logika-logika yang lain. Bahwa memberlakukan jurisprudence saja tidak cukup, tapi penegakan hukum harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial. Dan ini merupakan tantangan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum, mulai dari polisi, jaksa, hakim, dan advokat untuk bisa membebaskan diri dari kungkungan hukum murni yang kaku dan analitis.
Produk hukum yang berkarakter responsif, proses pembuatannya bersifat partisipasif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari segi individu ataupun kelompok masyarakat, dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat. Artinya, produk hukum itu bukan kehendak dari penguasa untuk melegitimasikan kekuasaannya.
Dalam model pengembangannya (developmental model), hukum responsif berupaya memecahkan persoalan mendasar dalam membangun sistem politik-hukum, di mana tanpa adanya sistem politik-hukum ini mustahil bagi perkembangan hukum dan politik untuk bergerak ke arah yang lebih baik. Penerapan hukum responsif tidak terlepas dari integrasi yang dekat antara hukum dan politik. Wujud dari integrasi yang sangat dekat ini adalah adanya subordinasi langsung dari institusi-institusi hukum terhadap elite-elite yang berkuasa, baik di sektor publik maupun swasta.
Karena selama ini, disadari atau tidak, selain tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, keberadaan hukum juga menjadi ancaman bagi masyarakat. Pada kondisi inilah hukum responsif mengisyaratkan bahwa penegakan hukum tidak dapat dilakukan setengah-setengah. Menjalankan hukum tidak hanya menjalankan undang-undang, tetapi harus memiliki kepekaan sosial. Sudah waktunya para aparat penegak hukum responsif sebagai landasan diberlakukannya keadilan sejati dari kenyataan-kenyataan sosial yang terjadi di masyarakat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Harmonisasi Hak dan Kewajiban Asasi Manusia dalam Perspektif Pancasila